Globalisasi sudah mempengaruhi dunia sekarang termasuk Indonesia, menjadikan peran penting bagi pondok pesantren untuk meminimalisirnya dan
memperkuat salah satu kultural santri agar tidak termakan oleh zaman yaitu
ngaji kitab kuning. Banyak sekali kitab kitab yang dikaji di pondok pesantren
terutama di pulau jawa, Salah satunya yang populer adalah kitab ihya’
‘ulumiddin karangan Imam Al Ghozaly.
Perkembangan pengajian ihya’ ‘ulumiddin sangat pesat. Tidak hanya
ada di pondok pesantren besar, tapi di pesantren kecil juga
dikaji seperti Pondok Pesantren (PP) Darul Maghfur Al Khotibiy Kebaman Srono.
Pondok Pesantren Darul Maghfur Al-Khotiby didirikan pada tanggal 19
februari 1974 oleh KH. Hasan Thoha. ini atas perintah gurunya yaitu KH.
Mukhtar Syafa’at Abdul Ghofur (alm), yang terletak di desa Kebaman kecamatan
Srono kabupaten Banyuwangi, dengan jarak 27 km arah selatan kota Banyuwangi.
Pondok Pesantren ini mengutamakan pendidikan pada ilmu fiqih, tauhid, dan tasawuf melalui Madrasah Diniyah dan Tahfidz Al-Quran dengan metode
Sorogan yang telah dicetuskan dan digunakan oleh para Ulama Salaf.
Kyai Thoha (sapaan akrab KH. Hasan Toha) adalah mutakhorijin Pondok Pesantren Darussalam Blokagung pada tahun 70-an. Pernah suatu ketika, waktu beliau masih nyatri
disana ingin pergi ke kota genteng untuk membeli sesuatu, dan ditengah jalan di
hadang oleh 12 orang yang ingin merampok sepeda yang beliau pakai, dengan hati
yang mantap kyai thoha muda melayani mereka, saat melipat lengan bajunya tiba-tiba para perampok itu langsung lari ketakutan dan kabur.
Pesantren dengan tanah total seluas kurang lebih 15.130 M2 ini, tidak beda
dengan pesantren lainnya. Para santri juga berkegiatan seperti biasa sekolah umum dan sekolah diniyyah. Setiap pagi dan sore Kyai Thoha selalu mengkaji kitab ihya’
‘ulumiddin dengan beberapa santri yang mengikutinya.
Pengajian beliau laksanakan di masjid. Nampak tempat yang bersih,
nyaman, nan asri itu ketika di gunakan untuk mengkaji kitab turost tersebut,
dan terlihat santri santri yang ngesahi (nulis kitab dengan lafal arab yang di
indonesiakan) pun mendengarkan dengan seksama.
Beliau ketika membacakan kitab ihya’ pelan-pelan,
teliti, dan hampir setiap maqro’ beliau terangkan, “ aku lek ngaji, gak
iso lek gak tak terangne kang!” tutur beliau.
Selama Kyai Thoha mengkaji kitab
ihya’, Pesan moral yang beliau sampaikan bagi santri yaitu hati yang selalu
terbiasa dengan sikap ikhlas dan sabar. Karena dengan sikap tersebut, kita akan
mudah mengendalikan nafsu amarah yang mana amarah itu seperti orang gila
ketika melakukanya dan setelah itu ia akan merugi.“ al ghodhobu awaluhu kal jununi
wa akhiruhu nadamatun” menurut KH. Ahmad Hisyam Syafa’at ketika ngaji kitab
ihya’ ulumiddin juz tsani.
Keterangan yang beliau (kyai thoha) sampaikan juga tidak lepas dari
nasihat-nasihat KH. Mukhtar Syafa’at Abdul Ghofur ketika ngaji di Blokagung.
Banyak sekali nasihat KH. Mukhtar Syafa’at yang masih beliau ingat
sampai sekarang seperti jadi orang itu harus ikhlas, tidak boleh melukai hati
masyarakat, kalau ada alumni yang jarang berkunjung tidak boleh dighibahi dan Kyai Syafa’at memerintahkan muridnya itu agar tidak membenci orang merokok
walaupun ia tidak merokok, jadi setiap kali kyai thoha itu didatangi tamu (perokok) beliau
selalu menyediakannya, atas saran kyai yang beliau ta’dzimi itu.
Dan pengajian kitab Ihya' ulumiddin yang dulu sepenuhnya di emban beliau
sekarang sebagian sudah di bantu oleh anak dan menantu beliau,
diantaranya Agus Abdul Bashir, Agus Abdul Halim, dan Agus Mundzir Asymawi, di karenakan beliau saat lebih memfokuskan untuk menyimak hafalan para santri tahfidz yang berjumlah kurang lebih 85 santri tahfidz putra putri, serta program murajaah Al-Quran beliau dengan mengkhatamkan Al-Quran tiga hari sekali, dan juga kesibukan jadwal diluar beliau yang sangat padat.
Smoga Allah panjangkan umur beliau dan selalu senantiasa dalam sehat wa afiat dan dalam ridho & lindunganNya. Amin.
Komentar
Posting Komentar